Setiap 23 Juli, bangsa ini memperingati Hari Anak Nasional. Hari ini, di berbagai tempat, anak-anak diarak, diajak lomba, diberikan bingkisan, dan diajak bernyanyi bersama. Bahkan Kemdikdasmen mengajak semua sekolah untuk menggelar aksi bertajuk "Pagi Ceria" yang dilakukan dengan serentak secara live streaming. Semua dilakukan untuk menunjukkan bahwa anak-anak adalah penerus bangsa, generasi masa depan yang harus dijaga dan dimuliakan.
Namun, sebagai orang tua dari anak berusia 5 tahun dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan juga seorang guru, saya berharap Hari Anak Nasional seharusnya lebih dari sekadar perayaan seremonial. Hari anak mestinya menjadi momentum refleksi bagi kita semua: sudahkah kita benar-benar memahami kebutuhan setiap anak terutama anak-anak yang tumbuh dengan kondisi khusus seperti ADHD?
Sampai hari ini, masih banyak orang yang salah paham tentang ADHD. Banyak yang menganggap anak dengan ADHD hanyalah anak yang “nakal”, “tidak patuh”, atau “kurang ajar”. Padahal, secara ilmiah, ADHD adalah gangguan perkembangan saraf (neurodevelopmental disorder) yang memengaruhi cara kerja otak, terutama di area yang mengatur perhatian, kontrol impuls, dan pengendalian diri.
Sebagai orang tua, saya melihatnya setiap hari di rumah. Anak saya penuh energi, sulit duduk diam lama, dan cepat sekali pindah fokus. Saya harus mengulang instruksi berkali-kali. Kadang ia bisa mengingatnya, kadang tidak. Kadang ia terlihat tidak mendengarkan sama sekali, padahal otaknya sedang sibuk memproses banyak hal sekaligus. Di satu sisi, energinya luar biasa. Namun di sisi lain, tanpa pemahaman yang tepat, perilaku ini sering dianggap sebagai tanda ketidakpatuhan.
Secara medis, penelitian menunjukkan bahwa ADHD terkait dengan perbedaan aktivitas neurotransmitter di otak, terutama dopamin dan noradrenalin. Hal ini memengaruhi bagaimana anak mengatur perhatian, emosi, dan perilaku motoriknya. Artinya, bukan karena mereka malas atau sengaja membuat masalah, melainkan otaknya memang bekerja dengan cara yang berbeda.
Sebagai orang tua, saya pun sempat kaget saat mendengar diagnosa ADHD. Pikiran saya melayang ke stigma yang kerap saya dengar: “Ah, itu anak kurang disiplin”, “Coba lebih keras mendidik”, atau “Anak zaman sekarang memang manja.” Tapi, semakin saya belajar, semakin saya sadar, ADHD bukanlah hasil pola asuh yang salah. Justru pola asuh yang salah-lah yang bisa memperburuk keadaan.
Dalam keseharian, saya dan istri berusaha menyediakan rutinitas yang konsisten: waktu tidur yang teratur, jadwal makan, waktu bermain, dan waktu belajar. Saya juga belajar menggunakan instruksi singkat, visual, dan diulang perlahan. Namun, jujur, tidak mudah menahan emosi. Ada kalanya kami kelelahan. Ada kalanya ingin marah saat anak kami berlarian ke sana kemari padahal kami sedang butuh tenang. Namun saya selalu mengingatkan diri sendiri: anak kami tidak melawan, dia hanya sedang berusaha keras menenangkan otaknya yang terus bergerak.
Di sisi lain, sebagai guru, saya menyadari betapa pentingnya pemahaman tentang ADHD di sekolah. Sayangnya, di banyak ruang kelas, anak dengan ADHD sering dianggap pengganggu. Ia sering dimarahi karena tidak bisa duduk diam, dianggap tidak hormat karena tidak mendengarkan guru, atau dicap malas karena tidak menyelesaikan tugas tepat waktu.
Padahal, berbagai penelitian menunjukkan, dengan strategi pembelajaran yang tepat, anak dengan ADHD bisa berkembang optimal. Beberapa hal yang dapat dilakukan guru antara lain: memberikan instruksi yang jelas dan singkat, menggunakan alat bantu visual, membuat jadwal belajar yang terstruktur, menyediakan waktu istirahat singkat di sela belajar, serta memberikan penghargaan positif untuk perilaku baik sekecil apa pun.
Selain itu, penting bagi guru untuk membangun komunikasi terbuka dengan orang tua. Orang tua lebih paham pola anak di rumah, sementara guru melihat pola anak di sekolah. Kolaborasi ini bisa membantu menentukan pendekatan terbaik agar anak merasa didukung, bukan disalahkan.
Yang sering luput, kita lupa bahwa setiap anak itu unik. Tidak ada satu cara mendidik yang cocok untuk semua. Sebagai guru, saya belajar bahwa inklusi bukan sekadar menyediakan kursi di ruang kelas, melainkan juga menyediakan pemahaman, kesabaran, dan modifikasi metode belajar. Anak-anak dengan ADHD sering punya kelebihan luar biasa dalam hal kreativitas, imajinasi, dan spontanitas. Banyak inovasi lahir dari orang-orang yang dulu dianggap “berbeda” cara belajarnya.
Sebagai orang tua, saya pun belajar banyak hal baru. Saya belajar mendengar, bukan hanya berbicara. Belajar menahan amarah, bukan hanya memarahi. Belajar membimbing, bukan memaksa. Dan di atas semua itu, saya belajar menerima bahwa saya juga manusia yang kadang lelah, namun tidak boleh menyerah.
Hari Anak Nasional ini, saya ingin mengajak para orang tua, guru, dan masyarakat untuk mulai melihat anak dengan ADHD (dan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya) dengan lebih bijaksana. Jangan buru-buru melabeli, jangan cepat memvonis. Kita perlu belajar ilmu, berdialog dengan ahli, dan saling mendukung. Kita perlu mengingatkan diri sendiri bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus bukan untuk “disembuhkan agar sama seperti yang lain”, tetapi untuk didampingi agar tumbuh menjadi dirinya sendiri.
Kita pun perlu mendorong sekolah-sekolah agar lebih inklusif. Guru perlu pelatihan tentang neurodiversity, orang tua perlu ruang diskusi, dan masyarakat perlu diedukasi bahwa ADHD bukan kutukan, bukan dosa, dan bukan aib.
Saya percaya, anak saya dan anak-anak lain dengan kondisi serupa bisa tumbuh menjadi versi terbaik dari dirinya, asalkan diberi ruang dan dipahami. Tugas kita adalah menyediakan lingkungan yang aman, sabar, dan suportif. Kita, orang tua dan guru, memang bukan manusia sempurna. Kita pun sedang belajar setiap hari. Namun, selama kita mau belajar, mendengar, dan saling mendukung, saya yakin tidak ada tantangan yang terlalu besar untuk dihadapi.
Selamat Hari Anak Nasional. Mari rayakan anak-anak kita, dengan segala keunikan, potensi, dan mimpinya. Mari rawat harapan mereka dengan cinta, pengetahuan, dan penerimaan.
Ditulis oleh:
Khaerul Asnan
( Orang Tua Anak dengan ADHD & Guru)
Teks/Foto : Asa Zumara, SS, M.IKom (Tim Publikasi DINAS KOMUNIKASI INFORMATIKA STATISTIK DAN PERSANDIAN )
Editor : Asa Zumara, SS, M.IKom