SIMP4TIK News – Kepala Kejaksaan Negeri Nunukan Teguh Ananto SH MH menyampaikan penyelesaian hukum pidana yang disebut Restorative Justice didepan Bupati, Wakil Bupati, Kepala Perangkat Daerah dan Tokoh Adat, Tokoh Agama dan Ketua-Ketua Paguyuban Etnis di Lantai V Kantor Bupati Nunukan, Selasa (18/7).
Menurut Teguh Ananto, Restorative Justice adalah penyelesaian kasus pidana diluar proses peradilan melalui mediasi antara pelaku dengan korban.
“Justice colaboratif ini adalah upaya penyelesaian kasus pidana melalui mediasi kedua pihak dan berdasarkan kesepakatan bersama kedua pihak untuk menyelsaikan masalah secara kekeluargaan,” katanya.
Teguh Ananto mengungkapkan sudah banyak peristiwa hukum yang terjadi yang secara hati nurani sulit diterima namun dari sisi hukum positif proses penegakan itu sesuai dengan Undang-Undang.
Seperti kasus Nenek Minah yang diproses pengadilan karena mencuri tiga buah coklat.
“Kasus Nenek Minah ini kalau istilah kita sekarang viral dimana-mana, termasuk beberapa kasus lain yang serupa, sehingga perlu ada penegakan hukum yang adil yang bisa diterima kedua pihak yang berperkara, melalui penyelesaian Restorative Justice ini,” katanya.
Penyelesaian perkara melalui restoratif justice berdasarkan Peraturan Kejaksaaan Republik Indonesia nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
“Sebelum keluarnya peraturan Kejaksaan Republik Indonesia ini, penegakan hukum itu tegak lurus, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan hukum positif, meskipun kasus hukumya tergolong tidak besar,” katanya.
Sejak Peraturan Kejaksaan ini terbit, Teguh Ananto mengakui sudah ada beberapa perkara pidana yang diselesaikan diluar proses peradilan.
“Seperti kasus di Sebatik, dua orang tua sama-sama berumur 70 tahun yang berperkara secara pidana karena ada yang mengancam dan melaporkan ke penegak hukum, kami coba fasilitasi agar diselesaikan secara restoratif justice, setelah dimediasi dan diberi pemahaman akhirnya keduanya sepakat untuk menyelsaikan kasus secara restoratif justice,” katanya.
Penyelesaian perkara diluar pengadilan menurut Teguh Ananto harus memenuhi setidaknya empat syarat yaitu tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun, nilai barang bukti tidak lebih dari 2,5 juta rupiah, dan adanya kesepakatan damai antara pelaku dengan korban.
“Jadi tidak semua perkara pidana bisa diselesaikan melalui restoratif justice, hanya perkara yang memenuhi syarat seperti yang sudah disampaikan tadi,” jelasnya.
Guna mendukung proses penyelesaian perkara melalui restoratif justice ini, Teguh Ananto merasa penting melibatkan tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama.
“Tokoh-tokoh ini memiliki peran sentral di lingkungan mereka berada, sehingga di dalam penyelesian perkara melalui restoratif justice kami perlu mendapatkan masukan, berdasarkan masukan-masukan itu kita tentukan sikap atas perkara tersebut,” katanya.
Sebelum pemaparan materi, Teguh Ananto menampilkan video tentang proses penyelesaian perkara pidana di lingkungan Kejaksaaan Negeri Nunukan.
Dalam video itu memperlihatkan ada dua keluarga dalam proses mediasi dan fasilitasi penyelesaian perkara secara restoratif justice hingga keduanya mencapai kesepakatan.
Selanjutnya Kepala Kejaksaan Negeri Nunukan Teguh Ananto SH MH membebaskan tersangka dengan membuka rompi tahanan serta pelepasan borgol dari tangan tersangka yang disaksikan Seorang Jaksa dan orang tua kedua pihak yang berperkara. (*)