Menjadi seorang ASN humas di masa kini, khususnya humas pemerintah (pranata humas), dituntut harus serba bisa. Mulai dari membuat berita, menyiapkan siaran pers dan konferensi pers, mengambil gambar baik foto dan video, mengedit foto dan video, mempostingnya di media sosial dan website, mendesain poster/flyer, menyiapkan pidato pimpinan, menyiapkan booth pameran, menjaga hubungan baik dengan rekan media, mengelola dan membuat konten, memantau feed dan jumlah followers media sosial institusinya.

Selama hampir delapan tahun menjadi ASN, saya menemukan kesulitan ketika membutuhkan SDM Humas yang mempunyai keahlian dalam hal desain dan digitalisasi data-data pekerjaan kehumasan. Saya sendiri merasa cukup “gaptek” dalam bidang desain dan hal yang terkait digital ini.  Sementara ASN dengan skill seperti ini jarang. Biasanya mereka didominasi oleh ASN atau non ASN bidang IT. Padahal di era revolusi 4.0, teknologi informasi menjadi andalan yang memudahkan pekerjaan manusia tak terkecuali para ASN. Maka menjadi keniscayaan ASN yang memiliki skill khusus ini dibutuhkan di setiap bidang.

Apalagi di masa depan dimana aspek akal fikiran manusia akan diberdayakan secara maksimal sehingga akan menggantikan peran manusia. Wujudnya lewat perangkat pintar seperti perangkat komunikasi, perangkat robotik, dan kecerdasan tiruan (artificial intelligence). Teknologi pada lintasan revolusi ini, bukan sekedar perangkat pendamping manusia, namun keberadaannya juga sebagai pengganti kehadiran manusia. Seluruh aspek fisik maupun akal fikiran sepenuhnya diambil alih perangkat. Tak heran, sebagaimana dilansir detik.com (09/10), Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana juga menyinggung nasib pegawai negeri sipil (ASN) di masa depan. Ia berpendapat, jika seluruh pekerjaan sudah dialihkan ke digital, kemungkinan ASN sudah tak diperlukan lagi di 10 tahun mendatang. Waduh, bagaimana nasib saya 10 tahun mendatang?

Sebagaimana kita ketahui dahulu Revolusi Industri 1.0 mengubah kehidupan manusiawi jadi lebih mekanis oleh mesin uap. Pada Revolusi 2.0 mengekstensi kapasitas fisik manusia, lewat mesin-mesin perakitan dan fabrikasi. Selanjutnya pada Revolusi 3.0 memberdayakan manusia lewat komputasi dan pemrograman dan menghasilkan sistem kerja yang menitikberatkan pada peningkatan kapasitas daya fisik manusia, walaupun menyentuh sedikit aspek akal fikiran.

Kini, revolusi industri 4.0 pun telah terjadi di seluruh dunia yang memudahkan manusia memenuhi kebutuhannya tanpa batas. Ditandai dengan otomasi, big data, machine learning, IoT (Internet of Things), dan artificial intelligence. Struktur morfologis masyarakat ikut berubah. Perangkat digital yang bersifat massif memfasilitasi  pembentukan masyarakat berciri baru, jejaring (networking). Masyarakat jejaring, (sebuah istilah yang dipinjam dari Castells, 2006). Apalagi ada negara yang memilih opsi 3.0, maka otomatis akan tertinggal. Bagaimana mungkin berhubungan dengan masyarakat dunia yang sudah mengadopsi 4.0, sementara kita masih 3.0? Lama-lama tertinggal dan punah (dalam Kurniawan, 2020).

Lebih lanjut Kurniawan (2020) dalam bukunya “Digital Dilemma” menyatakan kemampuan berbagai perangkat menggantikan sepenuhnya manusia menjadi pangkal persoalan. Dalam konteks Indonesia angkatan kerja yang belum sepenuhnya tertampung pada lapangan kerja yang ada sudah terancam kehadiran perangkat-perangkat digital. Kompleksitas kian bertambah manakala semua tatanan kerja  dan relasi antar manusia yang sudah lazim harus mengantisipasi kehadiran berbagai perangkat baru ini . Sehingga untuk menyikapinya tinggal dua pilihan, tolak revolusi dan tetap berkutat dengan sistem yang berlaku pada industri 3.0 atau mengadopsi  revolusi 4.0 seutuhnya. Harus juga disadari adopsi bersifat one way, alias tak ada jalan balik. Sekali mengadopsi perangkat industri 4.0 maka ekosistem masyarakat dipastikan turut berubah.

Optimisme Era 4.0 bagi ASN

Optimisme di era 4.0 bagi ASN sepertinya harus terus ditumbuhkan meski Kepala BKN cukup pesimis dengan peran ASN di masa 10 tahun mendatang. Optimisme yang dimaksud diungkap Schwab (2016), yaitu:

Pertama, integrate the unmeet needs. Era 4.0 akan mempertemukan masyarakat tanpa harus bertemu. Secara global, individu maupun komunitas bertemu tanpa batas. Hal ini akan memperluas jaringan ASN dalam berinteraksi tanpa batas dan menjadi apa yang disebut Castells sebagai “masyarakat jejaring”. Tanpa harus melakukan kunjungan kerja atau studi banding ke luar negeri yang pasti menghabiskan anggaran negara cukup besar, ASN dapat melakukan kontak dengan mitra luar negeri sekalipun. Penandatanganan kerja sama dapat dilakukan secara desk to desk dan virtual.

Kedua, increase ability to address negative externalities. Industri 4.0 menunjang pertumbuhan ekonomi dengan menekan emisi karbon dan perubahan iklim. Hal ini disebabkan berkurangnya transportasi antar tempat bahkan negara sehingga mengurangi polusi udara dari gas buang selama perputaran roda kendaraan. Dalam konteks ASN, hal ini berimbas dengan pengurangan perjalanan dinas antar kota dan provinsi yang dapat dialihkan ke prioritas lain seperti peningkatan kompetensi ASN dengan pelatihan dan bimtek-bimtek virtual yang sesuai dengan era revolusi industri 4.0.

Ketiga, effeciencies digital capabilities deliver, inovasi digital akan menekan biaya. Memang diakui, sejak anggaran instansi pemerintah difokuskan ke penanggulangan pandemi COVID-19, maka banyak organisasi yang melakukan efisiensi dalam aktivitas organisasinya menyangkut waktu, uang, dan juga tenaga yang digantikan dengan teknologi-teknologi komunikasi kekinian seperti rapat yang cukup dilakukan secara daring. Sebuah organisasi akan tetap dapat berjalan, tetap komunikatif, adaptif, dan kolaboratif terhadap kebutuhan interaksi dan informasi anggotanya. Kondisi ini nampaknya akan menjadi kenormalan baru di masa depan.

Dalam suatu kesempatan, Bupati Nunukan, Asmin Laura Hafid, telah mengingatkan kepada jajaran pimpinan OPD agar melek teknologi. Apabila tidak bisa menguasai teknologi, maka harus siap digantikan oleh ASN yang lebih cakap digital.

Sebagai pranata humas, tentu saja saya tidak mau berpangku tangan terhadap perubahan dibidang teknologi informasi ini. Harus terus belajar dan membuka diri terhadap perubahan disekitar. Mengikuti perkembangan teknologi merupakan kunci menuju kemajuan dan perubahan. Jangan menjadi katak dalam tempurung. Walaupun saya berada di daerah perbatasan, saya yakin kemampuan saya tidak terbatas asalkan mau mengikuti perkembangan zaman. Berubah atau Punah!

 

Referensi:

Castells, dalam http://en.wikipedia.org, diakses 26 Oktober 2022

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5206957/kepala-bkn-mungkin-10-tahun-lagi-tak-ada-pns

Kurniawan, Firman. 2020. Digital Dilema Problem Kontemporer Adopsi Media Digital Di Indonesia. Edited by Iwan Jemadi. 1st ed. Depok: Rajawali Pers.

Rogers, Everett M. 1995. Diffusion of Innovations (Fourth Edition). The Free Press. New York

Schwab, Klaus. (2016). The Global Competitiveness Report 2016- 2017. Geneva: World Economic Forum. Tersedia pada https://www.weforum.org

 

Teks/Foto : Asa Zumara, SS (Tim Publikasi DINAS KOMUNIKASI INFORMATIKA STATISTIK DAN PERSANDIAN )

Editor : Asa Zumara, SS