NUNUKAN, SIMPATIK - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nunukan menghadiri tradisi mandi Syafar yang digelar masyarakat Suku Tidung di Desa Persiapan Ujang Patima, Kecamatan Nunukan. Kegiatan adat ini rutin dilaksanakan setiap tahun pada bulan Syafar dalam penanggalan Hijriah.

Mewakili DPRD Nunukan, Sekretaris Komisi I, Muhammad Mansur mengatakan bahwa mandi Syafar bukan sekadar ritual budaya, melainkan juga bentuk doa bersama agar masyarakat terhindar dari marabahaya.

Menurut Mansur, tradisi ini memiliki makna mendalam bagi masyarakat Tidung. "Kegiatan ini merupakan ikhtiar kolektif untuk membuang kesialan, baik dalam diri maupun dalam kehidupan bermasyarakat," kata Mansur, Rabu (20/8/25) pada perayaan Mandi Syafar di desa Ujang Fatimah.

Ia menegaskan, DPRD Nunukan mendukung penuh upaya pelestarian tradisi lokal yang sarat nilai kebersamaan dan spiritualitas. Karena itu, ia mengapresiasi partisipasi masyarakat yang tetap konsisten menjaga warisan budaya leluhur.

Tradisi mandi Syafar, atau dalam bahasa Tidung dikenal mejuk syapor, selalu diawali dengan doa bersama pada awal bulan Syafar. Masyarakat memohon keselamatan dalam bekerja, perjalanan, maupun kehidupan sehari-hari.

Setelah satu bulan penuh, tradisi itu ditutup dengan mandi Syafar di sungai atau lokasi tertentu yang disepakati bersama. Ribuan warga hadir, sehingga suasana menjadi meriah sekaligus khidmat.

Tokoh Pemuda sekaligus Pemangku Adat Desa Ujang Patima, Ramsah menjelaskan bahwa mandi Syafar juga dikenal dengan istilah mandi tulak balah. Dalam bahasa Tidung, istilah itu berarti membuang kesialan.

“Setiap tahun, warga tumpah ruah mengikuti kegiatan ini. Tidak hanya masyarakat Tidung, tetapi juga warga Bugis, Jawa, maupun suku lain ikut serta. Kami tidak pernah melarang, karena ini terbuka untuk siapa saja,” ungkap Ramsah.

Ia menambahkan, mandi Syafar bukan hanya simbol pembersihan diri, melainkan juga doa bersama agar kampung terhindar dari malapetaka. Dengan demikian, masyarakat dapat menjalani kehidupan dengan tenang dan penuh optimisme.

Ramsah menegaskan bahwa tradisi ini sudah mengakar dan akan terus dijaga. “Bagi kami, ini adalah warisan leluhur yang harus tetap dilestarikan. Nilai utamanya adalah kebersamaan dan harapan akan keselamatan,” katanya.

Mansur juga menilai partisipasi lintas suku dalam tradisi mandi Syafar menjadi bukti kuatnya semangat persaudaraan di Nunukan, ini menunjukkan bahwa budaya lokal dapat menjadi perekat sosial di tengah keberagaman.

Selain melestarikan tradisi, kegiatan ini juga berdampak positif terhadap sektor sosial dan pariwisata daerah, Banyak masyarakat dari luar kampung ikut hadir, sehingga memberi warna tersendiri bagi kehidupan masyarakat Nunukan.

“ Kegiatan ini bukan hanya menjadi kebanggaan masyarakat Tidung, tetapi juga menjadi identitas budaya Kabupaten Nunukan.” tutup Mansur.***

Teks/Foto : Taufik, S.KSi, M.IKom (Tim Publikasi SEKRETARIAT DPRD )

Editor : Taufik, S.KSi, M.IKom