NUNUKAN, SIMP4TIK – Angota legislatif Nunukan menggelar monitoring di SDN 04 Kecamatan Sebatik Barat. Selasa (15/3/25).

Anggota Dewan mengkritisi soal plafon lima ruang kelas belajar (RKB) yang baru digunakan kurang dari tiga tahun, tidak bertahan lama alias runtuh, yang diketahui saat sekolah mulai kembali beraktivitas pasca libur Ramadhan dan Idul Fitri 1446 H.  

Kerusakan ini menjadi perhatian serius karena berdampak pada kenyamanan dalam proses belajar mengajar di sekolah tersebut.

Kepala Sekolah SD 04 Sebatik Barat, Nur Minari menjelaskan bahwa kerusakan terjadi secara bertahap akibat kebocoran atap yang menyebabkan air meresap ke plafon.

Meski kerusakan tidak mengganggu kegiatan belajar, pihak sekolah tetap waspada terhadap potensi bahaya terutama dari besi holo rangka plafon yang juga sudah mulai rusak.

Anggota DPRD Nunukan Andre Pratama menilai kualitas pembangunan gedung tersebut mengecewakan, menurutnya, kualitas plafon tidak sesuai dengan mutu pekerjaan sehigga tidak bertahan lama.

Andre juga menyarankan agar perbaikan gedung menggunakan bahan dan model lama seperti rangka kayu serta plywood biasa karena ketahanannya lebih baik dibandingkan bahan papercrete yang digunakan saat ini.

Pemerintah daerah diminta segera mengambil langkah perbaikan demi menjaga kelancaran proses pendidikan serta keselamatan siswa dan guru di SDN 04 Sebatik Barat.

Isolasi RKB Sekolah Kesetaraan

Lebih dari 100 murid menghentikan aktifitas pendidikannya lantaran  UPT. Satuan Pendidikan Non Formal (SPNF) Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) juga melakukan hal yang sama.

Permasalahannya adalah pintu ruang kelas belajar sekolah tersebut ditutup menggunakan rantai besi oleh pemilik lahan.

“ Sebelumnya itu lahan itu sudah diwakafkan oleh pemilik lahan, namun pembangunan musollah tidak direalisasi oleh kontraktor,” kata Nur Aini Kasubag TU. UPT. SPNF SKB Dinas Pendidikan (Disdik) Nunukan.

Persoalan ini mengundang perhatian anggota DPRD Dapil Sebatik, hingga menghubungi pihak kontraktor.

Menurut Andre Pratama, pemilik lahan awalnya telah membuat perjanjian dengan kontraktor untuk membangun musollah, namun itu masih berporoses, bukan berarti tidak dibangunkan.

"Namun, saat musala hampir dibangun, pemilik lahan berubah pikiran. Dia meminta uang tunai saja. Uang untuk pembangunan musolla,  sudah diberikan dari Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Namun kenapa masih disegel?" tanya Andre mempertanyakan.

Pemilik lahan yang telah menghibahkan tanah seharusnya membuka pintu untuk menyelesaikan persoalan ini. Dinas terkait, termasuk pihak kecamatan dan desa, juga harus turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini dengan membuat perjanjian yang sebenarnya.

"Harus dibuatkan pernyataan resmi masing-masing pihak; ada perjanjian tertulis hitam di atas putih. Tidak boleh ada pembicaraan dua kali ke depannya atau saling menuntut satu sama lain. Kami ingin segera memutus rantai masalah ini karena jelas pemilik lahan sudah tidak memiliki hak lagi; terdapat SK hibah dari bupati sebelumnya," ujar Andre.***

Teks/Foto : Taufik, S.KSi, M.IKom (Tim Publikasi SEKRETARIAT DPRD )

Editor : Taufik, S.KSi, M.IKom