SIMP4TIK News -Perubahan mendasar pada  Perda Nomor 16 Tahun 2018 tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang diusulkan Pemerintah Daerah untuk dibahas di DPRD Nunukan, tidak lagi menyebut secara sfesifik nama etnis yang terangkum di dalamnya. Namun menggantinya dengan sebutan Adat Besar.

"Pada Perda sebelumnya disebutkan secara detil masyarakat adatnya, sehingga menimbulkan gejolak terutama dari masyarakat adat yang belum atau tidak disebutkan didalam Perda tersebut," jelas  Kepala Bagian Hukum Sekretariat Kabupaten Nunukan, Hasruni SH MAP. 

Perubahan tersebut, tambah Har=sruni diharapkan dapat mengakomodir semua masyarakat hukum adat yang ada.  Jika di kemudian hari akan ada lagi tuntutan pengakuan atau klaim dari kelompok masyarakat adat lainnya maka cukup ditidaklanjuti denga Surat Keputusan (SK) Bupati, tanpa harus melakukan revisi kembali terhadap Perda sebelumnya yang sudah ditetapkan. 

“Ketika ada lagi tuntutan pengakuan dari salah satu etnis maka diperlukan kajian guna terpenuhinya syarat-syarat untuk diakui. Secara otomatis sudah terakomodir dalam Perda yang ada,” kata Hasruni.

Selain perubahan sebutan menjadi Adat Besar tadi, masih seperti dikatakan Hasruni, ada beberapa pasal pada Perda Nomor 16 Tahun 2018 yang dihapus karena pada pasal-pasal tersebut mencerminkan adanya klausul pengakuan. Sedangkan pada Perda hasil revisi yng diajukan, secara garis besar merupakan klausul pemberdayaan.

“Perda hasil revisi akan fokus kepada Pemberdayaan sedangkan Pengakuannya akan terakomodir setalah dilakukan kajian-kajian oleh DPMD (Dinas Demberdayaan Masyarakat Desa) yang memastikan terpenuhinya syarat sebagai suatu kesatuan Masyarakat Hukum Adat, baru akan ditetapkan,” tambah Hasruni.

Merinci antara lain syarat-syarat untuk ditetapkannya untuk etnis tertentu mendapatkan pengakuan ke dalam MHA, misalnya, adanya wilayah, adanya struktur adat hingga keberadaan hukum adatnya.

Hal tersebut, kata Hasruni, tentunya tidak mudah bagi DPMD Kabupaten Nunukan dan membutuhkan kerja keras. Mengingat masyarakat adat etnis Dayak Tenggalan, masih ada beberapa lagi etnis-etnis lain yang ada di daerah ini juga mengusulkan keinginan yang sama. Yakni tuntutan pengakuan MHA yang terkait dengah eksistensi wilayah adatnya.

“Itu sebabnya, pada rancangan revisi Perda dimaksud, Pemerintah Daerah mengusulkan atau menawarkan draf Pemberdayaan dengan pertimbangan untuk mengatisipasi kemungkinan kasus seperti yang terjadi pada masyarakat etnis Dayak Tenggalan yang tidak terakomodir, terjadi lagi,” terang Hasruni. (*)

Teks/Foto : BD Novelinna (Tim Publikasi DINAS KOMUNIKASI INFORMATIKA STATISTIK DAN PERSANDIAN )

Editor : Ilham Waskitho, S.Tr. Anim