NUNUKAN – Proses Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 di Kabupaten Nunukan dinilai masih menyisakan sejumlah persoalan memicu keluhan dari masyarakat.

Sekretaris Komisi I DPRD Nunukan, Muhammad Mansur, mengungkapkan bahwa pihaknya menerima banyak aduan terkait penolakan dokumen administrasi calon peserta, khususnya Kartu Keluarga (KK).

Menurutnya, penolakan KK oleh panitia seleksi disebabkan alasan teknis seperti dokumen baru terbit. Padahal, dalam kenyataannya, KK tersebut hanya mengalami perubahan data karena penambahan anggota keluarga, misalnya karena kelahiran anak.

“Banyak orang tua mengadu ke kami karena KK mereka ditolak, padahal data domisili dan prestasi anak sudah memenuhi syarat,” ungkapnya, Kamis (3/7/2025) dalam RDP Komisi I dan UPT. Dinas Pendikan Provinsi Kaltara Cabang Nunukan, Dinas Pendidikan Nunukan dan Disdukcapil Nunukan.

Ia menilai persoalan ini muncul karena tidak dilibatkannya Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) dalam proses verifikasi dokumen peserta. Karena itu DPRD meminta agar Disdukcapil dilibatkan guna memastikan keabsahan administrasi kependudukan.

Selain itu, Mansur juga menyoroti ketidaksesuaian petunjuk teknis (juknis) antara provinsi dan kabupaten, apakah juknis dari Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Utara sudah sesuai dengan Permendikbud yang berlaku secara nasional, hal ini menyulitkan masyarakat.

“Yang kita harapkan bukan kesempurnaan sistem, tapi perbaikannya, jangan sampai siswa yang sebenarnya layak, malah tidak diterima hanya karena persoalan teknis administrasi yang seharusnya bisa diselesaikan dengan koordinasi antarinstansi,” tegas Mansur.

Dalam kesempatan itu, berdasarkan aspirasi masyarakat, Ketua Komisi I ini juga menyampaikan jalur domisili dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) tingkat SD, SMP, dan SMA.

Menurutnya, seleksi jalur domisili di jenjang SMA harus mendahulukan calon peserta didik yang tinggal di dalam zonasi. Jika jumlah pendaftar melebihi kuota, maka harus diterapkan urutan prioritas: nilai akademik, jarak tempat tinggal, dan usia peserta.

Untuk jenjang SD, kata Mansur, prioritas penerimaan ketika pendaftar melebihi kuota adalah usia termuda dan jarak rumah ke sekolah, SMP, prioritas pertama adalah jarak tempat tinggal, disusul usia peserta didik.

Namun, ia melihat sistem di tingkat provinsi justru bertolak belakang dengan ketentuan yang berlaku nasional, Mansur mengungkapkan keraguannya atas koordinasi antara provinsi dan kabupaten, yang seharusnya juknis dari provinsi tidak terlalu jauh berbeda dari kebijakan daerah.

“Kalau memang ada koordinasi, tentu juknis yang dibuat provinsi akan lebih relevan dengan kondisi lokal di kabupaten,” ujarnya.

Beragam keluhan yang DPRD terima dari masyarakat di Kecamatan Sebatik,  seperti proses penerimaan siswa di SMA Negeri 1 Sebatik Induk, masyarakat menyampaikan bahwa sekolah tersebut justru lebih banyak menerima siswa dari Sebatik Timur dan Sebatik Barat, sementara dari Sebatik Induk sendiri hanya tiga siswa yang diterima.

Terkait hal ini Mansur mempertanyakan logika penerapan jalur domisili jika siswa dari wilayah tempat sekolah berada justru tersingkir oleh pendaftar dari luar zonasi, karena itu ia menyarankan agar Dinas Pendidikan Provinsi melibatkan Dewan Pendidikan Kabupaten dan Komite Sekolah dalam penyusunan juknis, serta memastikan proses sosialisasi dilakukan dengan baik.

“Perlu forum rembuk bersama antara DPRD provinsi dan kabupaten sebelum juknis ditetapkan. Wilayah SMA memang kewenangan provinsi, tapi dampaknya dirasakan masyarakat kabupaten, Jangan sampai provinsi bertindak sepihak tanpa mau mendengar suara dari bawah,” tegasnya

Rapat dengar pendapat itu dipimpin langsung Wakil Ketua DPRD Nunukan, Arpiah ST dihadiri anggota DPRD Nunukan, Andre Pratama, Riyan Antoni dan Adama.***

Teks/Foto : Taufik, S.KSi, M.IKom (Tim Publikasi SEKRETARIAT DPRD )

Editor : Taufik, S.KSi, M.IKom