Nunukan, SIMP4TIK – Tak hanya fokus pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Nunukan juga tengah menggenjot penerimaan dari sektor lain, yakni Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), khususnya dari makanan dan minuman.
Kepala Bapenda Nunukan, Fitraeni, S.Sos, mengatakan bahwa PBJT yang dulunya dikenal sebagai pajak restoran, kini diatur dalam skema baru sesuai regulasi nasional, meski begitu, realisasi pajaknya saat ini baru mencapai sekitar 71 persen.
“Dulu disebut pajak restoran, sekarang sudah masuk PBJT, realisasinya baru 71 persen. Kami terus mendorong wajib pajak untuk lebih taat karena pajak ini juga penting untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD),” ujar Fitraeni, Senin (29/09/2025).
Untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat, Bapenda telah menjalankan penagihan door-to-door yang dinilai cukup efektif.
“Selama tiga hari kemarin teman-teman sudah turun ke lapangan melakukan penagihan langsung. Dan kami akan lanjutkan ini di tiga bulan terakhir menjelang akhir 2025,” jelas Fitraeni.
Penagihan ini akan difokuskan di kelurahan atau wilayah yang tercatat masih memiliki tunggakan tinggi. Bahkan, Bapenda berencana memperluas pelayanan hingga ke wilayah Sebatik.
“Kami sedang rencanakan buka pelayanan di Sebatik. Tapi sebelumnya kami lihat dulu data di wilayah mana yang banyak menunggak. Lalu akan kami sasar untuk pelayanan atau penagihan langsung,” tambahnya.
Selain penagihan, Bapenda juga mengingatkan bahwa denda keterlambatan pembayaran PBB kini berlaku sebesar 1 persen per bulan, turun dari sebelumnya 2 persen. Aturan ini tertuang dalam Perda Nomor 1 Tahun 2024.
“Sebelumnya denda 2 persen, sekarang jadi 1 persen. Tapi tetap saja, denda itu menunjukkan kita kurang patuh. Karena itu kami harapkan masyarakat membayar sebelum jatuh tempo,” ujar Fitraeni.
Sosialisasi soal denda ini akan terus dilanjutkan, termasuk melalui pertemuan dengan kepala desa, RT/RW, dan tokoh masyarakat di tiap wilayah.
Fitraeni menambahkan, potensi penerimaan dari sektor PBJT sangat besar. Namun masih banyak pelaku usaha makanan dan minuman yang belum menyadari pentingnya membayar pajak secara benar dan rutin.
“Kami sudah banyak lakukan sosialisasi. Tapi dari 100 yang kami undang, kadang hanya 5 atau 10 yang hadir. Artinya, pemahaman mereka soal pajak ini masih kurang,” ungkapnya.
Ia berharap para pelaku usaha lebih aktif dan berkontribusi terhadap pembangunan daerah, pajak makan dan minum ini merupakan pajak dari konsumen, bukan dari kantong pengusaha langsung.
Teks/Foto : BD Novelinna (Tim Publikasi DINAS KOMUNIKASI INFORMATIKA STATISTIK DAN PERSANDIAN )
Editor : Asa Zumara, SS, M.IKom